Perspektif Komunikasi
A. Pendahuluan
Perkembangan komunikasi berjalan beriringan dengan
perkembangan teknologi. Berlo (1975) menyebut zaman sekarang ini adalah zaman
revolusi komunikasi yang sejati, yang ditimbulkan, sebagian terbesar oleh
adanya perkembangan kemajuan teknologis yang amat pesat di bidang media
komunikasi. Salah satu fakta yang sangat mencolok tentang dasawarsa dewasa ini
adalah ledakan informasi yang luar biasa. Ledakan informasi itu telah menuntut
adanya penemuan beberapa sarana untuk mengatasi masalah informasi tersebut.
Hasil yang tidak dapat dielakkan dari revolusi komunikasi
pada masa kini adalah bahwa pemahaman hakikat komunikasi manusia menjadi lebih
sulit lagi, namun menjadi lebih menentukan dalam masyarakat kontemporer.[1]
Perspektif
adalah sudut pandang secara spesifik dan beragam dalam melihat suatu fenomena
atau gejala tertentu yang hendak dikaji, dari berbagai-bagai unsur yang bisa
membedakan sebuah teori satu dengan yang lain. Perspektif memungkinkan
terjadinya perbedaan teori dalam mengkaji dan menafsirkan gejala gejala yang
ada. Bisa saja sebuah fenomena didekati dengan teori yang beragam rupa sesuai
dengan perspektif yang ada.
Perspektif
tentu saja berbeda dengan paradigma, definisi dan tradisi. Karena masing-masing
punya sudut pandang yang berbeda. Perbedaan antara perspektif dengan definisi
adalah kalau definisi merupakan suatu penjelasan atau suatu eksplikasi dari
sesuatu. Definisi memiliki pembatasan dan keterbatasan tertentu terkait dengan
pengertian yang ada, dan tidak bersifat multi tafsir karena apabila definisi
memiliki banyak makna maka definisi ini akan justru bermasalah karena akan
membingungkan orang yang memakai atau menggunakannya. Jadi bisa dikatakan
definisi memiliki kejelasan serta kepastian yang lebih tetap ketimbang
perspektif.
Perspektif
justru melihat sebuah fenomena, katakanlah perilaku masyarakat akan
berbeda-beda tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Dan tidak ada satu
definisi yang bisa berlaku general dan mengikat untuk berbagai hal. Bila
dibandingkan dengan perspektif, tentunya perspektif lebih luas dalam memandang
sesuatu, tidak hanya melihat dari asal-muasal katanya (etimologi nya) tetapi
mempertimbangkan berbagai hal yang ada sehingga pemahaman seseorang akan
semakin komprehensif mengenai sesuatu. Sedangkan tradisi adalah sebuah
kebiasaan, sebuah pemetaan suatu teori atau konsep yang disesuaikan dengan
perkembangan keilmuan dan disiplin atau metodelogi tertentu.
B.
Pembahasan
Perspektif
adalah sebuah sudut pandang dalam mana sesuatu termasuk teori dan konsep
komunikasi bisa dipaparkan secara lebih mendalam. Sedangkan paradigma adalah
cara pandang atau basis kepercayaan yang mendasari seseorang ( khususnya para
peneliti) dalam melihat fenomena social yang ada . Artinya bisa dikatakan
paradigm merupakan keseluruhan asumsi-asumsi, pernyataan-pernyataan yang harus
dipertimbangkan dalam mengkaji dan meneliti sesuatu. Perspektif menjadi penting
dalam melihat dan mengkaji komunikasi secara lebih mendalam karena tidak
mungkin ada sebuah perspektif tunggal dalam melihat komunikasi yang begitu
luas. Yang menjadi awal dari perpektif komunikasi adalah konsep-konsep yang
dipengaruhi perspektif disiplin ilmu lain yakni perspektif disiplin ilmu
politik dan ilmu psikologi yang amat berperan dalam perkembangan ilmu
komunikasi khususnya saat melihat persuasi dan propaganda sebagai teori-teori
awal yang menandai kemunculan disiplin ilmu komunikasi. Contoh perspektif
adalah saat melihat komunikasi dari perspektif disiplin ilmu Psikologi maka
kita akan melihat bahwa pada dasarnya Psikologi melihat bahwa komunkasi
merupakan sebuah proses dimana faktor individu amat berperan dalam pertukaran
pesan.
Teori-teori
komunikasi yang dihasilkan dalam perspektif ini menonjolkan peranan individu
sebagai pihak yang aktif dalam berkomunikasi. Contohnya teori Stimulus-
Organisme- Respon yang menekankan bahwa individu sebagai sebuah organism
mendapatkan rangsangan atau stimuli dari luar yang berbentuk pesan verbal
kemudian individu tersebut mengeluarkan atau bereaksi
dengan menyampaikan respon atau tanggapan tertentu.[2]
Menurut Fisher ada 4 perspektif
ilmu komunikasi, yaitu :
1. Perspektif
Mekanistis
menekankan pada unsur saluran fisik
komunikasi, penyampaian, dan penerimaan arus
pesan diantara sumber atau para penerimannya
2. Perspektif
Psikologis
memfokuskan perhatiannya pada individu
(komunikator atau penafsir) baik secara teoritis maupun empiris.
3. Perspektif
Interaksional
merupakan
aplikasi dari sistem pada komunikasi manusia dan merupakan perkembangan baru
mengenai komunikasi manusia. Penekanannya pada tindakan memungkinkan
pengambilan peran untuk mengembangkan tindakan bersama atau mempersatukan
tindakan individu dengan tindakan individu- individu yang lain untuk membentuk
kolektivitas. Tindakan tersebut membentuk kelompok sosial dan adanya perasaan
kebersamaan.
4.Perspektif
Pragmatis
merupakan
simbol atau lambang yang berhubungan dengan orang lain. komunikasi ini berpusat
pada perilaku sebagai komponennya adalah manusia.
1. Perspektif
Positivisme yaitu komunikasi sebagai suatu proses linier atau sebab akibat.
Asumsi-asumsi dasar dari teori ini adalah
a. Ontologi
yaitu realisme, mengenai sesuatu yang ada atau tidak ada atau
membicarakan/mempelajari realitas. Ontolgi sendiri berarti memahami hakikat
ilmu pengetahuan
b. Epistemologi
adalah tuntunan-tuntunan (berupa pertanyaan) yang mengantar kita untuk
mendapatkan suatu pengetahuan.Hakikat pribadi ilmu (Komunikasi) yaitu berkaitan
dengan pengetahuan mengenai pengetahuan ilmu (Komunikasi) sendiri . Persoalan
utama epsitemologis Ilmu Komunikasi adalah mengenai persoalan apa yang dapat
ita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya.
c. Metodologi
adalah eksperimental, situasi yang benar-benar terkontrol
Positivisme
ada 3 yaitu :
1.
Positivisme Sosial
2.
Positivisme
3.
Positivisme Logis : aliran positivisme yang lebih memfokuskan lebih pada
logika dan bahasa ilmiah. Salah satu prinsip yang diyakini kaum positivisme
logis adalah prinsip isomorfi, yaitu adanya hubungan mutlak antara bahasa dan
dunia nyata.
Ciri-cirinya
:
-
Bebas Nilai : berarti ketika si pengamat mengamati sesuatu maka nilai-nilai
yang dimiliki si pengamat tidak dilibatkan sehingga menghasilkan kesimpulan apa
adanya
-
Fenomenalisme : berarti apa yang kita amati merupakan fenomena belaka,sementara
sesuatu yang berdiri dibelakang fenomena
-
Nominalisme : kebenaran berdasarkan lama atau ukuran, dalam hal ini kebenaran
kenyataan terletak pada penamaan bukan kenyataan itu sendiri
-
Naturalisme berarti semua gejala berjalan secara alamiah tanpa campur tangan
hal-hal metafisis
-
Mekanisme berarti semua gejala dapat dijelaskan secara mekanis-determinis
layaknya sebuah mesin
Fisher mengungkapkan bahwa : “...Bilamana seseorang
mengamati peristiwa komunikasi, orang tidah memandang apakah orang itu yakin
pada teori komunikasi tertentu atau memegang teguh proposisi aksiomatis
tertentu dalam benaknya. Yang terlihat olehnya adalah bahwa orang tadi membuat
gerakan dan suara tertentu. Relevansi atau arti pentingnya dari gerakan dan
suara itu merupakan produk dari konsep yang dipergunakan untuk memahami
peristiwa komunikatif tersebut. Konsep itu menentukan apa yang relevan dalam
peristiwa tadi ; dan dalam pengertian ini maka apa yang tidak dicakup oleh
orang tadi, dicakup oleh konsep tadi dan dinyatakan sebagai hal yang tidak
relevan” [3]
Pengukuran dan bebas nilai, yang khas perspektif
posotivisme, berarti mengakurkan teori pada realitas sambil menyatakan bahwa
apa yang ditemukan adalah apa adanya, tanpa intervensi dari subyek pengamat.
Menggunakan perspektif berarti menyadari bahwa suatu pemahaman selalu dibangun
oleh kait kelindan antara apa yang diamati dan apa yang menjadi konsep
pengamatan.
Konsekuensi dari penggunaan perspektif adalah kearifan
untuk menyatakan bahwa apa yang kita ketahui sekarang bukanlah kebenaran
mutlak, melainkan hanya pemahaman yang diciptakan manusia. Dan karena pemahaman
kita adalah produk kemanusiaan, maka ia tunduk para perubahan konseptual
sebagaimana secara historis kita telah mengubah konsep dan perspektif untuk
menciptakan pemahaman kita ini.
Penggunaan perspektif dapat mengimbangi keberubahan fakta
sosial yang terus berubah itu.
Konsekuensi lain adalah bahwa kita sebenarnya tidak
menemukan realitas, melainkan “menciptakan” realitas..soalnya, ketika kita
melakukan penelitian saat itu kita mengamati sesuatu “dengan cara tertentu”.
Mau tidak mau terpaksa kita mengorganisasikan pengamatan dan persepsi kita
serta tidak dapat menghindarkan diri dari mengorganisasikannya.
Bagaimana seseorang seharusnya menggunakan pelbagai
perspektif komunikasi manusia?haruskah kita berusaha mempergunakan semua
perspektif secara bersamaan?.
Fisher[4]
mengungkapkan kembali, “Sudah tentu tidaklah mungkin – secara konseptual
ajeg. Penggunaan perpektif yang paling nyata haruslah secara sadar tanggap pada
perspektif yang dipakai, apa implikasinya, dan keman ia mengarahkan kita.
Kita harus tanggap pada pertanyaan apa yang dapat ditanyakan dan karenanya
dapat dijawab dalam rangka perspektif itu. Kita perlu mengetahui
pertanyaan-pertanyaan apa yang tidak dapat dipertanyakan, dan karenanya juga
tidak dapat dijawab. Kita perlu mengetahui apa yang seharusnya kita ketahui dan
bagaimana menggunakan perspektif yang paling tepat untuk membawa kita pada
pengetahuan / pamahaman itu.”
Tiga perspektif ontologi dan epistemologi :
1. Realisme
Beranggapan bahwa
benda-benda atau objek yang diamati sebagai apa adanya, telah berdiri disana
secara benar, tanpa campur tangan ide dari pengamat.
konsekuensinya nilai
kepercayaan, emosi dan apapu yang dimiliki oleh diri subjek pengamat dilarang
untuk terlibat ketika mengamati sesuatu.
2. Nominalis
Menganggap bahwa
dunia sosial adalah eksternal pada persepsi individu, tersusun tidak lebih dari
sekedar nama, konsep dan label yang digunakan untuk membuat struktur realitas.
Seorang subjektifis, secara epistemologis meyakini bahwa dunia sosial pada
dasarnya adalah relatif dan hanya bisa dipahami dari sudut pandang individu
yang terlibat langsung dalam aktifitas yang dipelajari.
3. Konstruksionis
Konstruktivisme mengatakan
bahwa kita tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara
ontologis. Yang kita mengerti adalah struktur konstruksi kita akan suatu objek.
Konstruksivisme tidak
bertujuan mengerti realitas tetapi lebih hendak melihat bagaimana kita menjadi
tahu akan sesuatu.
Bagaimana halnya
dengan kebenaran?
Bagaimana orang tahu bahwa pengetahuan yang kita
konstruksikan itu benar, bagi kaum konstruktivis, kebenaran diletakkan pada
viabilitas yaitu kemampuan suatu konsep atau pengetahuan dalam beroperasi.
perspektif yang berkembang pada ilmu komunikasi sebenarnya sangat
beragam, namun pada buku ini akan dibatasi pada perspektif yang bersangkut paut
dengan penelitian.
Perspektif itu meliputi positivisme, post-positivisme,
interpretif, konstruksivisme, dan teori kritis.
1. Positivisme.
Ilmu harus memiliki
pandangan dunia posotivis sebagai berikut :Menurut [5]bahwa
:
Objektif, teori
tentang semesta haruslah bebas nilai.
a. Fenomenalisme, ilmu pengetahuan hanya bicara tentang
semesta yang teramati, substansi metafisis yang diandalkan berada dibelakang
gejala penampakan yang disingkirkan.
b. Reduksionisme, semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang
keras dan dapat diamati.
c. Naturalisme, alam semesta adalah objek-objek yang
bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam
Kritik awal
bersifat memperbaiki kesalahan positivisme, kritik ini menggunakan metode
positivisme. Karena itu perspektif ini disebut post-positivisme.Post berarti
sesudah/ retakan dari apa yang sebelumnya.Paradigma post-positivis disebut
realisme kritis yang berarti paham tentang realitas yang menyakini bahwa ilmu
pengetahuan dapat mempelajari realitas secara mandiri.
2. Post-positivisme
Empat macam paradigma post-positivisme :
Post-positivisme rasional yang menggunakan paradigma
kuantitatif dan metodologi kuantitatif statistik : empirik analitik tetapi
membuat payung berupa grand concept agar data empirik sensual dapat dimaknai
dalam cakupannya yang lebih luas.
3. Post-positivisme fenomenologi – interpretif adalah teori
post postivisme kritis yang menggunakan paradigma kualitatif, membuat telaah
holistik, mencari esensi dan mengimplisitkan nilai moral dalam observasi,
analisis dan pembuatan kesimpulan.
4. Post-postivisme teori kritis dengan weltan schauung yang
berangkat dari gugatan atas ketidakadilan kemudian pandangan dunia dapat
dikembangkan dengan weltan schauung tertentu.
Post-positivisme konstruksivisme, kostruksivis menolak
objektivitas ala positivisme yang mengakui adanya fakta dan adanya empirik
sedangkan konstruktivis berpendapat bahwa ada pemaknaan tentang kenyataan
diluar diri yang dikonstruksi.
5. Kritis
Pendekatan teori kritis mirip dengan post-positivisme
yang mencari makna dibalik empirik serta menolak bebas nilai. Pendekatan ini
mempunyai komitmen yang tinggi kepada tata sosial yang lebih adil. Dua
asumsi yang menjadi landasan :
Ilmu sosial tidak sekedar memahami ketidakadilan dalam
distribusi kekuasaan dan sumber daya melainkan berupaya untuk membantu
menciptakan kesamaan dan emansipasi dalam kehidupan.
Pendekatan teori kritis memiliki keterikatan moral untuk
mengkritik siatus quo dan membangun masyarakat yang lebih adil.
Teori kritis, mencoba membongkar kepentingan atau
ideologi yang berdiri dibalik fenomena sosial, karena teori ini tidak sekedar
melakukan observasi melainkan memberikan kritik terhadap fenomena sosial.
Teori kritis meyakini pentingnya konstruksi kultur dan
cara-cara praktik sosial dalam menentukan, menghilangkan, membangun suatu
kultur. Bahasa juga dianggap menempati posisi penting dalam mempengaruhi
pengalaman karena menjadi fokus penelitian komunikasi.
Teori kritis menekankan nilai-nilai dari suatu peristiwa
dan tidak cocok untuk membuat pernyataan-pernyataan ilmiah mengenai hukum-hukum
yang mengontrol kehidupan manusia.
6. Strukturalis fungsionalisme
Teori strukturalisme fungsionalisme memiliki sejumlah
karakteristif yang harus dikenali yaitu keniscayaan sinkroni dalam realitas, maksudnya realitas
dianggap stabil tidak berubah.
Tidak mempercayai peran subjektifitas dan kesadaran dalam
realitas, karena memfokuskan diri pada pencarian faktor-faktor diluar subjek
dan kesadaran.
Realitas dipercayai terpisah dan mandiri, serta dapat
ditemukan kebenarannya melalui observasi, mengukur, dan menghubungkan temuan
melalui hukum kausal.
Memisahkan bahasa dan simbol dari pemikiran dan dari objek
yang disimbolisasikan. Bahasa adalah alat pemikiran bukan pemikirannya sendiri,
bahasa sebagai alat harus cocok menggambarkan realitas apa adanya.
Teori struktural fungsional dapat menjelaskan kategori
umum dan hubungan diantara variabel dalam sistem sosial.
Teori ini memiliki kelemahan dalam menampilkan kekhasan
peristiwa individual dan pengalaman khusus manusia.
7. Interaksionisme
Teori interaksionis yang merupakan turunan dari
perspektif interpretif dan konstruktivisme, memandang kehidupan sosial sebagai
suatu proses interaksi. Kesaling hubungan merupakan basis dari kenyataan sosial,
semua aspek kehidupan dianggap didasari oleh interaksi.
Interaksionisme berbeda terbalik dengan strukturalisme.
Bila strukturalisme menganggap bahwa struktur sebagai
inti dan interaksi sebagai turunannya, maka interaksionisme memiliki paham yang
sebaliknya.
Teori interaksionis dirancang untuk membuka proses sosial
dan menunjukkan bagaimana perilaku dipengaruhi oleh norma dan aturan kelompok,
kekuatan teori ini terletak pada penjelasan ihwal dinamika dan hubungan
interpersonal serta pengungkapan cara-cara perubahan individu atau kelompok
dari satu situasi ke situasi lain.
Kelemahannya terletak pada ketidak mampuan menemukan
struktur kehidupan manusia yang tetap ada pada seluruh situasi.
Teori interpretif kuat dalam menampilkan makna-makna
ekspresif individual teks dan struktur sosial.
2.
Perspektif Interpretif yaitu mencari sebuah pemahaman bagaimana membentuk dunia
pemaknaan melaui interaksi dan bagaimana berprilaku terhadap dunia yang
membentuk itu.
Ada
3 (tiga) pandangan pembentuk teori ini yaitu :
a.
Hermeneutika yaitu kajian yang menunjukkan pentingnya teks dalam dunia sosial
dan pada metode analisis yang menekankan keterhubungan antara teks, pengarang,
konteks dan kalangan teoritis
b.
Fenomonologi yaitu kajian pemaknaan berdasaran kehidupan sehari-hari.
c.
Interasionalisme simbolik yaitu Berorientasi pada interaksi dengan merespon
makna yang dibangun satu sama lain.
Prinsip
Dasar Teori Interpretif adalah
-
Pengalaman Subyektif
-
Kreasi intersubjek dalam makna
-
Pemahaman sebagai tujuan akhir dalam riset sosial
-
ketidakterpisahaan antara yang tahu dan yang diketahui[6]
Implikasi
perspektif lebih luas dan lebih jauh liputannya dalam perbedaannya dari
kebijakan konvensional yang mengitari komunikasi manusia. Implikasi- implikasi
tersebut yakni:
·
Ekternalisasi, karena komunikasi memusatkan perhatiannya pada perilaku, maka
ungkapan klise yang dihubungkan dengan komunikasi mulai menerima makna baru.
·
Probabilitas stokatis, umumnya analisa data penelitian dalam ilmu- ilmu sosial
mempergunakan statistika inferensial, dan desain- desain eksperiental. Sifat
perspektif pragmatis menimbulkan masalah bagi para ahli yang hanya terlatih
dalam methode penelitian yang tradisional. Prinsip ekuifinalitas, yang menandai
system terbuka, tidak menyisihkan sama sekali metode eksperimental, tetapi ia
hanya mengurangi arti pentingnya saja.
·
Analisis kualitatif, perspektif pragmatis mengandung arti bahwa inferensi
kausal menjadi kurang penting dalam memahami proses komunikasi manusia, jika
tidak mau dikatakan tidak sesuai. Yang lebih penting dan relevan adalah
masalah- masalah kualitatif yang mengenai karakterisasi system komunikasi.
Bagian ini akan berusaha menggambarkan secara garis- besar beberapa masalah
kualitatif yang paling penting bagi studi komunikasi sekarang.
·
Kompleksitas konsep waktu, di dalam kerangka perspektif pragmatis, waktu
menjadi makin lebih kompleks dan makin lebih merupakan bagian yang integral
dari komunikasi manusia.
·
Komunikasi interpersonal massa, dalam bidang yang beranekaragam seperti
komunikasi manusia, penerapan perspektif pragmatis bertindak sebagai kerangka
untuk mempersatukan berbagai pendekatan komunikasi yang berlainan.
Untuk
mengkonseptualisasikan komunikasi dari perspektif pragmatis sama saja dengan
memperbaharui secara drastic pola pikiran yang semula tentang komunikasi. Akan
tetapi untuk mengkonseptualisasikan komunikasi sebagai suatu tindakan
“partisipasi” atau “memasuki” suatu system komunikasi ataupun hubungan
memerlukan “goncangan” pada cara berpikir kita yang tradisional.
Walaupun
demikian, kemampuan untuk mengenal cara kita berpikir dan menggunakan berbagai
perspektif merupakan suatu tanda seorang yang terpelajar, dan kemampuan untuk
mengkonseptualisasikan, termasuk kemampuan untuk merekonseptualisasikan adalah
isyarat adanya pemahaman yang meningkat.
Kombinasi
Perspektif
Ahli-ahli
komunikasi seringkali mengkombinasikan unsur-unsur berbagai perspektif dan
menggunakan kombinasi ini dalam meninjau proses komunikasi. Kombinasi yang
sering terjadi adalah perspektif psikologis dengan mekanistis. Pada umumnya
perspektif mekanistis- psikologis merupakan pendekatan komunikasi yang jelas
paling popular.
Setiap
perspektif secara relatif terpisah secara relatif antar yang satu dengan yang
lain. Menurut Aubrey Fisher, agar penelitian produktif hendaknya menyadari
pemakaian kombinasi perspektif dan secara sadar mencegah adanya kombinasi yang
tidak konsisten atau tidak searah. Prasyarat bagi setiap pengembangan teoritis
komunikasi adalah adanya kesadaran kritis tentang perspektif teoritis yang ada
dan yang sedang diterapkan.
Perspektif
bukan hanya perspekti mekanistis, psikologis, interaksionis, dan pragmatis
saja, melainkan masih ada yang lain diantaranya: perspektif ekologi atau
kontekstual tentang komunikasi manusia konsisten dengan definisi komunikasi
sebagai proses adaptasi orgaisme kepada lingkungan. Perspektif ekologi lebih
bersifat asumtif dari pada aktual.
Perspektif
dramatisme, lebih berpengaruh dan populer dari pada pandangan ekologis adalah
dampak dramatisme atas komunikasi. Daramatisme lebih bersifat analogis dari
pada teoritis. Model dramatis menempatkan individu dan perilaku sosial dalam
analogi dramatis yang menandai aktor sosial pada “panggung” kehidupan yang
sebenarnya. Sebagai model atau analogi organisasi komunikasi, dramatisme sangat
bersifat heuristic, kaya dengan ide- ide yang potensial.
Perspektif
memang memberikan pengaruh besar pada akumulasi pengetahuan yang potensial yang
menyangkut proses komunikatif. Pengaruh utama dari perspektif ialah menentukan/
mengarahkan pemahaman seseorang tentang konsep komunikasi. Salah satu cara
untuk menerangkan pengaruhnya adalah mengatakan bahwa perspektif yang berbeda
memberikan interpretasi yang berlainan juga.
Sebagian
orang mungkin akan menafsirkan perspektif itu sebagai suatu metodelogi
penelitian, jelas bukan. Begitu pula suatu metodelogi tertentu tidaklah unik
atau bahkan paling tetap bagi suatu perspektif apapun. Dalam kenyataannya,
setiap metodelogi penelitian apapun dapat cocok dalam salah satu dari keempat
perspektif itu, hanya tergantung pada sifat pernyataan penelitian tertentu yang
ditanyakan- bukan pada perspektif filosofisnya itu sendiri.[7]
Fenomena Ahok
Ahok
telah menjadi fenomena tersendiri. Di balik ketegasannya dalam memimpin DKI,
bahasanya yang lantang, keras, dan blak-blakan yang tak jarang membuat telinga
panas, menjadi cirri-ciri khas tersendiri.
Secara
umum memang bukan kali ini saja orang nomor 1 di DKI ini 'bertikai' dengan
orang lain lantaran ucapannya yang pedas. Sejak dilantik medio Oktober 2013,
komentar-komentarnya terus kontroversial dan membuat orang tersinggung.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa sekadar
tegas tidak cukup bagi seorang pemimpin. Ketegasan sikap ini harus diiringi
dengan penyampaian dan pola komunikasi yang baik. Ide-ide Ahok boleh saja
cemerlang dalam membangun DKI. Hanya saja jika pola komunikasi yang dibangun
seperti itu, dalam arti mengedepankan emosionalitas, maka ia akan mudah memutus
substansi ide yang digulirkan. Dengan kata lain, masyarakat menjadi unmotivated
dan cenderung tidak care terhadap idenya, karena komunikasi yang digunakan.
Apalagi dalam banyak contoh, Ahok cenderung terjebak pada perdebatan personal.
Ia memojokkan individu tertentu dalam upaya menjustifikasi ide yang dianggapnya
benar. Akibatnya tercipta friksi-friksi yang tidak lagi berbicara gagasan,
tetapi mengarah pada kebencian personal.
Komunikasi Pemimpin
Komunikasi Pemimpin
Menjadi
pemimpin, memang, tidak seindah dan semudah yang kita pikirkan. Di pundaknya
terdapat jutaan beban sekaligus amanah orang-orang yang dipimpinnya. Tugas
pemimpin, dalam situasi apapun adalah bagaimana menjalankan amanah itu dengan
sebaik mungkin.
Tentu
saja untuk menjalankan amanah ini membutuhkan piranti, dan di antara piranti
yang utama adalah komunikasi. Komunikasi urgen karena menjadi semacam
'jembatan' bagi pemimpin terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Bila pemimpin
gagal membangun komunikasi yang baik dan sesuai dengan lingkungan orang-orang
yang dipimpinnya, bisa dipastikan ide-ide kepemimpinannya akan sulit diterima,
bahkan ditolak.
Dalam
ilmu komunikasi politik, kita mengenal Teori Empati dan Teori Homofili. Dalam
teori ini, seorang pemimpin dituntut untuk mampu menyesuaikan suasana
pikirannya dengan alam pikiran khalayak. Selain itu, komunikasi juga didasarkan
pada kesamaan (homofili) yang dipandang lebih efektif ketimbang oleh
ketidaksamaan derajat, ras, agama, ideologi, simbol politik, dan seterusnya.
Dengan begitu, komunikasi perlu disandarkan pada situasi tertentu sesuai dengan
alam atau lingkungan di sekitar kita.
Penyesuaian
ini tentu dalam upaya menyampaikan hakikat dari komunikasi itu sendiri sebagai
"transfer of information". Seorang pemimpin yang tidak bisa
mengalirkan ide-idenya kepada publik dengan cara yang diinginkan mereka,
sesungguhnya pemimpin tersebut telah gagal melakukan komunikasi politik.
Pandangan ini bila kita merujuk pada konsep dari Everett M. Rogers yang
menyebut komunikasi sebagai proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber
kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku
mereka; atau konsep dari Harold Lasswell yang menyebut komunikasi dengan
"Who Says What In Which Channel to Whom With What Effect?" atau siapa
mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan pengaruh bagaimana?
Maka,
komunikasi telah menjadi tantangan pertama sekaligus utama bagi Ahok maupun
pemimpin-pemimpin lainnya jika ingin mencapai sukses. Komunikasi yang baik
adalah yang dapat mengalirkan ide, usulan, saran, bahkan perintah yang bisa
direnungkan dan dijalankan oleh orang-orang yang dipimpinnya, sehingga bisa
menghasilkan perubahan. Sikap tegas adalah keharusan bagi pemimpin, tetapi
sikap itu saja tidak cukup, jika tidak disertai kearifan dan pola komunikasi
yang bisa diterima oleh orang-orang yang dipimpinnya, tanpa ada yang tersakiti.[8]
Teori Empati dan Homofili
Komunikasi
persuasi yang positif berkaitan juga berkaitan dengan teori empati dan teori
homofili. Yang dikembangkan pakar komunikasi psikologi dan soiologi. Teori empati dikembangkan oleh Berlo dan
Daniel Laner. Sedangkan teori Homfoili
dikembangkan oleh Everet M. Rogers dan F. Shoemaker.[9]
Secara sederhana empati adalah menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang
lain. K. berlo memperkenalkan teori dengan nama Influence Theory of Empaty yaitu teori penurunan dari penempatan diri ke dal;am diri orang lain.
Pengertian dari teori ini adalah komunikan akan mengandaikan dirinya jika
menjadi posisi komunikator. Dalam hal ini diri komunikan tercipta daya khayal
selanjutnya individu akan menemukan serta mengidentifikasi adanya
persamaan-persamaan atau perbedaan masing-masing serta kemudian menjadi dasar
untuk melakukan penyesuaian.
Beberapa
pakar memberikan pengertian tentang empati[10]sebagai
berikut: Daniel Learner (1978) mengatakan bahwa empati adalah kesanggupan
seseorang untuk melihat diri sendiri dalam situasi orang lain, dan kemudian
melakukan penyesuaian. Dimana dalam hal individu harus memiliki” kepribadian
mobil” yaitu kepribadian yang mudah bergerak dan menyesuaikan diri dengan
situasi orang lain. Kemudian freud(1921) mengatakan bahwa empati itu adalah
memahami orang lain, yang tidak mempunyai emosional bagi kita. Scotland (1978)
empati adalah keadaan ketika pengamat bereaksi secara emosional karena dia
mengganggap orang lain mengalami atau siap mengalami suatu emosi. Sedangkan
Barnet (1979) memberi contoh empati, yaitu membayangkan pengalaman orang lain
ketika sakit, kami memperlakukan orang lain itu berbeda dengan cara kami
memperlakukan diri kami sendiri.
Dalam
komunikais politik, memproyeksikan diri sendiri kedlam titik pandang dan empati
orang lain memberi peluang kepada
seseorang politikus untuk berhasil dalam pembicaraan politiknya.[11]Menempatkan
diri sendiri seperti orang lain itu tidak mudah, justru empati dapat
ditingkatkan melalui komunikasi sosial dan komunikasi politik yang sering
dilakukan oleh politkus. Dapat dipahami bahwa seorang politikus perlu melakukan
komunikais yang rutin kepada msyarakat supaya masyarakat semakin mengenal dan
masyarakat dapat memproyeksikan dirinya terhadap politikus supaya muncul empati
pada masyarakat sebagaid ari munculnya penyesuaian diri dan persamaan
–persamaan. Empati dan komunikais politik adalah sifat yang sangat dekat dengan
citra sesorang politik tentang diri dan tentang orang lain, sehingga empati
dapat dinegosiasikan atau dimantapkan melalui komunikasi antar pesona.
Dalam
usaha melakukan empati dalam peristiwa komunikasi Rogers dan Shoemaker memperkenalkan homofili,
dengan tujuan meningkatkan kemampuan individu untuk menciptakan kebersamaan
–kebersamaan baik fisik maupun mental.[12]
Nimmo[13] menyebutkan bebrapa prinsip homofili dalam
komunikasi dan riset dan riset yaitu:
1. Orang-orang
yang mirip dan sesuai dengan orang lain, lebih sering berkomunikasi daripada
orang yang tidak mempunyai persamaan sifat dan pandangan .
2. Komunikasi
yang lebih efektif terjadi bila sumber dan penerima adalah homofilistik, karena
orang-orang yang mirip cenderung menemukan makna yang sama dan diakui bersama
dalam pesan-pesan yang dipertukarkan oleh mereka.
3. Komunikasi
saling memelihara karena semakin banyak komunikasi diantara mereka, makin
cenderung dapat berbagai pandang dan melanjutkan komunikasi.
Empati dan homofili dapat menciptakan semua yang akrab dan intim sehingga komunikasi
dapat berjalan secara interaksional. Seseorang komunikator politikus dapat
mempersuasi masyarakat dngan melakukan pendekatan
masyarakat melalui komunikasi dengan menimbulkan empati dari masyarakat atau
publik. Untuk mendapatkan itu tentunya dilakukan dengan komunikasi yang efektif
dan terus –menerus kepada masyarakat untuk menciptakan empati.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin,
Zainal. Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigm Baru.Bandung: Rosdakarya 2011
Bungin,
Burhan, Metodologi Penelitian Kuantitatif Komunikasi, Ekonomi,dan Kebijakan
Publik serta Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya, Prenada Media, Jakarta..2005
Fisher, Aubrey,
Teori-teori dan Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung.1990
http://andri-hermansyah.blogspot.co.id/2014/04/perspektif-ilmu-komunikasi.html
http://denontarr.blogspot.co.id/2008/11/perspektif-komuniaksi-b-aubrey-fisher.html
http://indiwan.blogspot.co.id/2010/05/apa-itu-perpektif-komunikasi.html
http://www.sayangi.com/fitur/tajuk/read/6986/fenomena-ahok-komunikasi-pemimpin
[1] http://denontarr.blogspot.co.id/2008/11/perspektif-komuniaksi-b-aubrey-fisher.html
[2]
http://indiwan.blogspot.co.id/2010/05/apa-itu-perpektif-komunikasi.html
[5] Bungin,
Burhan, Metodologi Penelitian Kuantitatif Komunikasi, Ekonomi,dan Kebijakan
Publik serta Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya, Prenada Media, Jakarta..2005 h. 31-32
[6]
http://andri-hermansyah.blogspot.co.id/2014/04/perspektif-ilmu-komunikasi.html
[7]
http://denontarr.blogspot.co.id/2008/11/perspektif-komuniaksi-b-aubrey-fisher.html
[8]
http://www.sayangi.com/fitur/tajuk/read/6986/fenomena-ahok-komunikasi-pemimpin
[11]
Ibid
[12]
Ibid .h.11
[13]
Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar