Perspektif Komunikasi


Perspektif Komunikasi
A.       Pendahuluan
Perkembangan komunikasi berjalan beriringan dengan perkembangan teknologi. Berlo (1975) menyebut zaman sekarang ini adalah zaman revolusi komunikasi yang sejati, yang ditimbulkan, sebagian terbesar oleh adanya perkembangan kemajuan teknologis yang amat pesat di bidang media komunikasi. Salah satu fakta yang sangat mencolok tentang dasawarsa dewasa ini adalah ledakan informasi yang luar biasa. Ledakan informasi itu telah menuntut adanya penemuan beberapa sarana untuk mengatasi masalah informasi tersebut.
Hasil yang tidak dapat dielakkan dari revolusi komunikasi pada masa kini adalah bahwa pemahaman hakikat komunikasi manusia menjadi lebih sulit lagi, namun menjadi lebih menentukan dalam masyarakat kontemporer.[1]
Perspektif adalah sudut pandang secara spesifik dan beragam dalam melihat suatu fenomena atau gejala tertentu yang hendak dikaji, dari berbagai-bagai unsur yang bisa membedakan sebuah teori satu dengan yang lain. Perspektif memungkinkan terjadinya perbedaan teori dalam mengkaji dan menafsirkan gejala gejala yang ada. Bisa saja sebuah fenomena didekati dengan teori yang beragam rupa sesuai dengan perspektif yang ada.
Perspektif tentu saja berbeda dengan paradigma, definisi dan tradisi. Karena masing-masing punya sudut pandang yang berbeda. Perbedaan antara perspektif dengan definisi adalah kalau definisi merupakan suatu penjelasan atau suatu eksplikasi dari sesuatu. Definisi memiliki pembatasan dan keterbatasan tertentu terkait dengan pengertian yang ada, dan tidak bersifat multi tafsir karena apabila definisi memiliki banyak makna maka definisi ini akan justru bermasalah karena akan membingungkan orang yang memakai atau menggunakannya. Jadi bisa dikatakan definisi memiliki kejelasan serta kepastian yang lebih tetap ketimbang perspektif.
Perspektif justru melihat sebuah fenomena, katakanlah perilaku masyarakat akan berbeda-beda tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Dan tidak ada satu definisi yang bisa berlaku general dan mengikat untuk berbagai hal. Bila dibandingkan dengan perspektif, tentunya perspektif lebih luas dalam memandang sesuatu, tidak hanya melihat dari asal-muasal katanya (etimologi nya) tetapi mempertimbangkan berbagai hal yang ada sehingga pemahaman seseorang akan semakin komprehensif mengenai sesuatu. Sedangkan tradisi adalah sebuah kebiasaan, sebuah pemetaan suatu teori atau konsep yang disesuaikan dengan perkembangan keilmuan dan disiplin atau metodelogi tertentu.
B.        Pembahasan
Perspektif adalah sebuah sudut pandang dalam mana sesuatu termasuk teori dan konsep komunikasi bisa dipaparkan secara lebih mendalam. Sedangkan paradigma adalah cara pandang atau basis kepercayaan yang mendasari seseorang ( khususnya para peneliti) dalam melihat fenomena social yang ada . Artinya bisa dikatakan paradigm merupakan keseluruhan asumsi-asumsi, pernyataan-pernyataan yang harus dipertimbangkan dalam mengkaji dan meneliti sesuatu. Perspektif menjadi penting dalam melihat dan mengkaji komunikasi secara lebih mendalam karena tidak mungkin ada sebuah perspektif tunggal dalam melihat komunikasi yang begitu luas. Yang menjadi awal dari perpektif komunikasi adalah konsep-konsep yang dipengaruhi perspektif disiplin ilmu lain yakni perspektif disiplin ilmu politik dan ilmu psikologi yang amat berperan dalam perkembangan ilmu komunikasi khususnya saat melihat persuasi dan propaganda sebagai teori-teori awal yang menandai kemunculan disiplin ilmu komunikasi. Contoh perspektif adalah saat melihat komunikasi dari perspektif disiplin ilmu Psikologi maka kita akan melihat bahwa pada dasarnya Psikologi melihat bahwa komunkasi merupakan sebuah proses dimana faktor individu amat berperan dalam pertukaran pesan.
Teori-teori komunikasi yang dihasilkan dalam perspektif ini menonjolkan peranan individu sebagai pihak yang aktif dalam berkomunikasi. Contohnya teori Stimulus- Organisme- Respon yang menekankan bahwa individu sebagai sebuah organism mendapatkan rangsangan atau stimuli dari luar yang berbentuk pesan verbal kemudian individu tersebut mengeluarkan atau  bereaksi dengan menyampaikan respon atau tanggapan tertentu.[2]  
 Menurut Fisher ada 4 perspektif ilmu komunikasi, yaitu :
1.      Perspektif Mekanistis
menekankan pada unsur saluran fisik komunikasi, penyampaian, dan          penerimaan arus pesan diantara sumber atau para penerimannya
2.      Perspektif Psikologis
 memfokuskan perhatiannya pada individu (komunikator atau penafsir) baik secara teoritis maupun empiris.


3.      Perspektif Interaksional
merupakan aplikasi dari sistem pada komunikasi manusia dan merupakan perkembangan baru mengenai komunikasi manusia. Penekanannya pada tindakan memungkinkan pengambilan peran untuk mengembangkan tindakan bersama atau mempersatukan tindakan individu dengan tindakan individu- individu yang lain untuk membentuk kolektivitas. Tindakan tersebut membentuk kelompok sosial dan adanya perasaan kebersamaan.
4.Perspektif Pragmatis
merupakan simbol atau lambang yang berhubungan dengan orang lain. komunikasi ini berpusat pada perilaku sebagai komponennya adalah manusia.

1.      Perspektif Positivisme yaitu komunikasi sebagai suatu proses linier atau sebab akibat. Asumsi-asumsi dasar dari teori ini adalah
a.       Ontologi yaitu realisme, mengenai sesuatu yang ada atau tidak ada atau membicarakan/mempelajari realitas. Ontolgi sendiri berarti memahami hakikat ilmu pengetahuan
b.      Epistemologi adalah tuntunan-tuntunan (berupa pertanyaan) yang mengantar kita untuk mendapatkan suatu pengetahuan.Hakikat pribadi ilmu (Komunikasi) yaitu berkaitan dengan pengetahuan mengenai pengetahuan ilmu (Komunikasi) sendiri . Persoalan utama epsitemologis Ilmu Komunikasi adalah mengenai persoalan apa yang dapat ita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya.
c.       Metodologi adalah eksperimental, situasi yang benar-benar terkontrol
Positivisme ada 3 yaitu :
1. Positivisme Sosial
2. Positivisme 
3. Positivisme Logis :  aliran positivisme yang lebih memfokuskan lebih pada logika dan bahasa ilmiah. Salah satu prinsip yang diyakini kaum positivisme logis adalah prinsip isomorfi, yaitu adanya hubungan mutlak antara bahasa dan dunia nyata.
Ciri-cirinya :
- Bebas Nilai : berarti ketika si pengamat mengamati sesuatu maka nilai-nilai yang dimiliki si pengamat tidak dilibatkan sehingga menghasilkan kesimpulan apa adanya
- Fenomenalisme : berarti apa yang kita amati merupakan fenomena belaka,sementara sesuatu yang berdiri dibelakang fenomena 
- Nominalisme : kebenaran berdasarkan lama atau ukuran, dalam hal ini kebenaran kenyataan terletak pada penamaan bukan kenyataan itu sendiri
- Naturalisme berarti semua gejala berjalan secara alamiah tanpa campur tangan hal-hal metafisis
- Mekanisme berarti semua gejala dapat dijelaskan secara mekanis-determinis layaknya sebuah mesin
Fisher mengungkapkan bahwa : “...Bilamana seseorang mengamati peristiwa komunikasi, orang tidah memandang apakah orang itu yakin pada teori komunikasi tertentu atau memegang teguh proposisi aksiomatis tertentu dalam benaknya. Yang terlihat olehnya adalah bahwa orang tadi membuat gerakan dan suara tertentu. Relevansi atau arti pentingnya dari gerakan dan suara itu merupakan produk dari konsep yang dipergunakan untuk memahami peristiwa komunikatif tersebut. Konsep itu menentukan apa yang relevan dalam peristiwa tadi ; dan dalam pengertian ini maka apa yang tidak dicakup oleh orang tadi, dicakup oleh konsep tadi dan dinyatakan sebagai hal yang tidak relevan”  [3]
Pengukuran dan bebas nilai, yang khas perspektif posotivisme, berarti mengakurkan teori pada realitas sambil menyatakan bahwa apa yang ditemukan adalah apa adanya, tanpa intervensi dari subyek pengamat. Menggunakan perspektif berarti menyadari bahwa suatu pemahaman selalu dibangun oleh kait kelindan antara apa yang diamati dan apa yang menjadi konsep pengamatan.
Konsekuensi dari penggunaan perspektif adalah kearifan untuk menyatakan bahwa apa yang kita ketahui sekarang bukanlah kebenaran mutlak, melainkan hanya pemahaman yang diciptakan manusia. Dan karena pemahaman kita adalah produk kemanusiaan, maka ia tunduk para perubahan konseptual sebagaimana secara historis kita telah mengubah konsep dan perspektif untuk menciptakan pemahaman kita ini.
Penggunaan perspektif dapat mengimbangi keberubahan fakta sosial yang terus berubah itu.
Konsekuensi lain adalah bahwa kita sebenarnya tidak menemukan realitas, melainkan “menciptakan” realitas..soalnya, ketika kita melakukan penelitian saat itu kita mengamati sesuatu “dengan cara tertentu”. Mau tidak mau terpaksa kita mengorganisasikan pengamatan dan persepsi kita serta tidak dapat menghindarkan diri dari mengorganisasikannya.

Bagaimana seseorang seharusnya menggunakan pelbagai perspektif komunikasi manusia?haruskah kita berusaha mempergunakan semua perspektif secara bersamaan?.

Fisher[4] mengungkapkan kembali, “Sudah tentu tidaklah mungkin – secara konseptual ajeg. Penggunaan perpektif yang paling nyata haruslah secara sadar tanggap pada perspektif  yang dipakai, apa implikasinya, dan keman ia mengarahkan kita. Kita harus tanggap pada pertanyaan apa yang dapat ditanyakan dan karenanya dapat dijawab dalam rangka perspektif itu. Kita perlu mengetahui pertanyaan-pertanyaan apa yang tidak dapat dipertanyakan, dan karenanya juga tidak dapat dijawab. Kita perlu mengetahui apa yang seharusnya kita ketahui dan bagaimana menggunakan perspektif yang paling tepat untuk membawa kita pada pengetahuan / pamahaman itu.”
Tiga perspektif ontologi dan epistemologi :
1.      Realisme
      Beranggapan bahwa benda-benda atau objek yang diamati sebagai apa adanya, telah berdiri disana secara benar, tanpa campur tangan ide dari pengamat.
      konsekuensinya nilai kepercayaan, emosi dan apapu yang dimiliki oleh diri subjek pengamat dilarang untuk terlibat ketika mengamati sesuatu.
2.      Nominalis
      Menganggap bahwa dunia sosial adalah eksternal pada persepsi individu, tersusun tidak lebih dari sekedar nama, konsep dan label yang digunakan untuk membuat struktur realitas. Seorang subjektifis, secara epistemologis meyakini bahwa dunia sosial pada dasarnya adalah relatif dan hanya bisa dipahami dari sudut pandang individu yang terlibat langsung dalam aktifitas yang dipelajari.
3.   Konstruksionis
      Konstruktivisme mengatakan bahwa kita tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Yang kita mengerti adalah struktur konstruksi kita akan suatu objek.
      Konstruksivisme tidak bertujuan mengerti realitas tetapi lebih hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu.
       Bagaimana halnya dengan kebenaran?

Bagaimana orang tahu bahwa pengetahuan yang kita konstruksikan itu benar, bagi kaum konstruktivis, kebenaran diletakkan pada viabilitas yaitu kemampuan suatu konsep atau pengetahuan dalam beroperasi.  perspektif yang berkembang pada ilmu komunikasi sebenarnya sangat beragam, namun pada buku ini akan dibatasi pada perspektif yang bersangkut paut dengan penelitian.
Perspektif itu meliputi positivisme, post-positivisme, interpretif, konstruksivisme, dan teori kritis.
1.      Positivisme.
Ilmu harus memiliki pandangan dunia posotivis sebagai berikut :Menurut [5]bahwa :
Objektif, teori tentang semesta haruslah bebas nilai. 
a.       Fenomenalisme, ilmu pengetahuan hanya bicara tentang semesta yang teramati, substansi metafisis yang diandalkan berada dibelakang gejala penampakan yang disingkirkan. 
b.      Reduksionisme, semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang keras dan dapat diamati. 
c.       Naturalisme, alam semesta adalah objek-objek yang bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam
Kritik awal bersifat memperbaiki kesalahan positivisme, kritik ini menggunakan metode positivisme. Karena itu perspektif ini disebut post-positivisme.Post berarti sesudah/ retakan dari apa yang sebelumnya.Paradigma post-positivis disebut realisme kritis yang berarti paham tentang realitas yang menyakini bahwa ilmu pengetahuan dapat mempelajari realitas secara mandiri.
2.      Post-positivisme
Empat macam paradigma post-positivisme :
Post-positivisme rasional yang menggunakan paradigma kuantitatif dan metodologi kuantitatif statistik : empirik analitik tetapi membuat payung berupa grand concept agar data empirik sensual dapat dimaknai dalam cakupannya yang lebih luas.

3.      Post-positivisme fenomenologi – interpretif adalah teori post postivisme kritis yang menggunakan paradigma kualitatif, membuat telaah holistik, mencari esensi dan mengimplisitkan nilai moral dalam observasi, analisis dan pembuatan kesimpulan.
4.      Post-postivisme teori kritis dengan weltan schauung yang berangkat dari gugatan atas ketidakadilan kemudian pandangan dunia dapat dikembangkan dengan weltan schauung tertentu.

Post-positivisme konstruksivisme, kostruksivis menolak objektivitas ala positivisme yang mengakui adanya fakta dan adanya empirik sedangkan konstruktivis berpendapat bahwa ada pemaknaan tentang kenyataan diluar diri yang dikonstruksi.

5.      Kritis
Pendekatan teori kritis mirip dengan post-positivisme yang mencari makna dibalik empirik serta menolak bebas nilai. Pendekatan ini mempunyai komitmen yang tinggi kepada tata sosial yang lebih adil.  Dua asumsi yang menjadi landasan : 
Ilmu sosial tidak sekedar memahami ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan dan sumber daya melainkan berupaya untuk membantu menciptakan kesamaan dan emansipasi dalam kehidupan.
Pendekatan teori kritis memiliki keterikatan moral untuk mengkritik siatus quo dan membangun masyarakat yang lebih adil.
Teori kritis, mencoba membongkar kepentingan atau ideologi yang berdiri dibalik fenomena sosial, karena teori ini tidak sekedar melakukan observasi melainkan memberikan kritik terhadap fenomena sosial.
Teori kritis meyakini pentingnya konstruksi kultur dan cara-cara praktik sosial dalam menentukan, menghilangkan, membangun suatu kultur. Bahasa juga dianggap menempati posisi penting dalam mempengaruhi pengalaman karena menjadi fokus penelitian komunikasi.
Teori kritis menekankan nilai-nilai dari suatu peristiwa dan tidak cocok untuk membuat pernyataan-pernyataan ilmiah mengenai hukum-hukum yang mengontrol kehidupan manusia.

6.      Strukturalis fungsionalisme
Teori strukturalisme fungsionalisme memiliki sejumlah karakteristif yang harus dikenali yaitu keniscayaan sinkroni dalam realitas, maksudnya realitas dianggap stabil tidak berubah.
Tidak mempercayai peran subjektifitas dan kesadaran dalam realitas, karena memfokuskan diri pada pencarian faktor-faktor diluar subjek dan kesadaran.
            Realitas dipercayai terpisah dan mandiri, serta dapat ditemukan kebenarannya melalui observasi, mengukur, dan menghubungkan temuan melalui hukum kausal. 
Memisahkan bahasa dan simbol dari pemikiran dan dari objek yang disimbolisasikan. Bahasa adalah alat pemikiran bukan pemikirannya sendiri, bahasa sebagai alat harus cocok menggambarkan realitas apa adanya.

Teori struktural fungsional dapat menjelaskan kategori umum dan hubungan diantara variabel dalam sistem sosial.
Teori ini memiliki kelemahan dalam menampilkan kekhasan peristiwa individual dan pengalaman khusus manusia.
7.      Interaksionisme
Teori interaksionis yang merupakan turunan dari perspektif interpretif dan konstruktivisme, memandang kehidupan sosial sebagai suatu proses interaksi. Kesaling hubungan merupakan basis dari kenyataan sosial, semua aspek kehidupan dianggap didasari oleh interaksi. Interaksionisme berbeda terbalik dengan strukturalisme.
Bila strukturalisme menganggap bahwa struktur sebagai inti dan interaksi sebagai turunannya, maka interaksionisme memiliki paham yang sebaliknya.
Teori interaksionis dirancang untuk membuka proses sosial dan menunjukkan bagaimana perilaku dipengaruhi oleh norma dan aturan kelompok, kekuatan teori ini terletak pada penjelasan ihwal dinamika dan hubungan interpersonal serta pengungkapan cara-cara perubahan individu atau kelompok dari satu situasi ke situasi lain.
Kelemahannya terletak pada ketidak mampuan menemukan struktur kehidupan manusia yang tetap ada pada seluruh situasi.
Teori interpretif kuat dalam menampilkan makna-makna ekspresif individual teks dan struktur sosial.

2. Perspektif Interpretif yaitu mencari sebuah pemahaman bagaimana membentuk dunia pemaknaan melaui interaksi dan bagaimana berprilaku terhadap dunia yang membentuk itu.

Ada 3 (tiga) pandangan pembentuk teori ini yaitu :
a. Hermeneutika yaitu kajian yang menunjukkan pentingnya teks dalam dunia sosial dan pada metode analisis yang menekankan keterhubungan antara teks, pengarang, konteks dan kalangan teoritis
b. Fenomonologi yaitu kajian pemaknaan berdasaran kehidupan sehari-hari.
c. Interasionalisme simbolik yaitu Berorientasi pada interaksi dengan merespon makna yang dibangun satu sama lain.

Prinsip Dasar Teori Interpretif adalah
- Pengalaman Subyektif
- Kreasi intersubjek dalam makna
- Pemahaman sebagai tujuan akhir dalam riset sosial
- ketidakterpisahaan antara yang tahu dan yang diketahui[6]
Implikasi perspektif lebih luas dan lebih jauh liputannya dalam perbedaannya dari kebijakan konvensional yang mengitari komunikasi manusia. Implikasi- implikasi tersebut yakni:
· Ekternalisasi, karena komunikasi memusatkan perhatiannya pada perilaku, maka ungkapan klise yang dihubungkan dengan komunikasi mulai menerima makna baru.
· Probabilitas stokatis, umumnya analisa data penelitian dalam ilmu- ilmu sosial mempergunakan statistika inferensial, dan desain- desain eksperiental. Sifat perspektif pragmatis menimbulkan masalah bagi para ahli yang hanya terlatih dalam methode penelitian yang tradisional. Prinsip ekuifinalitas, yang menandai system terbuka, tidak menyisihkan sama sekali metode eksperimental, tetapi ia hanya mengurangi arti pentingnya saja.
· Analisis kualitatif, perspektif pragmatis mengandung arti bahwa inferensi kausal menjadi kurang penting dalam memahami proses komunikasi manusia, jika tidak mau dikatakan tidak sesuai. Yang lebih penting dan relevan adalah masalah- masalah kualitatif yang mengenai karakterisasi system komunikasi. Bagian ini akan berusaha menggambarkan secara garis- besar beberapa masalah kualitatif yang paling penting bagi studi komunikasi sekarang.
· Kompleksitas konsep waktu, di dalam kerangka perspektif pragmatis, waktu menjadi makin lebih kompleks dan makin lebih merupakan bagian yang integral dari komunikasi manusia.
· Komunikasi interpersonal massa, dalam bidang yang beranekaragam seperti komunikasi manusia, penerapan perspektif pragmatis bertindak sebagai kerangka untuk mempersatukan berbagai pendekatan komunikasi yang berlainan.
Untuk mengkonseptualisasikan komunikasi dari perspektif pragmatis sama saja dengan memperbaharui secara drastic pola pikiran yang semula tentang komunikasi. Akan tetapi untuk mengkonseptualisasikan komunikasi sebagai suatu tindakan “partisipasi” atau “memasuki” suatu system komunikasi ataupun hubungan memerlukan “goncangan” pada cara berpikir kita yang tradisional.
Walaupun demikian, kemampuan untuk mengenal cara kita berpikir dan menggunakan berbagai perspektif merupakan suatu tanda seorang yang terpelajar, dan kemampuan untuk mengkonseptualisasikan, termasuk kemampuan untuk merekonseptualisasikan adalah isyarat adanya pemahaman yang meningkat.
Kombinasi Perspektif
Ahli-ahli komunikasi seringkali mengkombinasikan unsur-unsur berbagai perspektif dan menggunakan kombinasi ini dalam meninjau proses komunikasi. Kombinasi yang sering terjadi adalah perspektif psikologis dengan mekanistis. Pada umumnya perspektif mekanistis- psikologis merupakan pendekatan komunikasi yang jelas paling popular.
Setiap perspektif secara relatif terpisah secara relatif antar yang satu dengan yang lain. Menurut Aubrey Fisher, agar penelitian produktif hendaknya menyadari pemakaian kombinasi perspektif dan secara sadar mencegah adanya kombinasi yang tidak konsisten atau tidak searah. Prasyarat bagi setiap pengembangan teoritis komunikasi adalah adanya kesadaran kritis tentang perspektif teoritis yang ada dan yang sedang diterapkan.
Perspektif bukan hanya perspekti mekanistis, psikologis, interaksionis, dan pragmatis saja, melainkan masih ada yang lain diantaranya: perspektif ekologi atau kontekstual tentang komunikasi manusia konsisten dengan definisi komunikasi sebagai proses adaptasi orgaisme kepada lingkungan. Perspektif ekologi lebih bersifat asumtif dari pada aktual.
Perspektif dramatisme, lebih berpengaruh dan populer dari pada pandangan ekologis adalah dampak dramatisme atas komunikasi. Daramatisme lebih bersifat analogis dari pada teoritis. Model dramatis menempatkan individu dan perilaku sosial dalam analogi dramatis yang menandai aktor sosial pada “panggung” kehidupan yang sebenarnya. Sebagai model atau analogi organisasi komunikasi, dramatisme sangat bersifat heuristic, kaya dengan ide- ide yang potensial.
Perspektif memang memberikan pengaruh besar pada akumulasi pengetahuan yang potensial yang menyangkut proses komunikatif. Pengaruh utama dari perspektif ialah menentukan/ mengarahkan pemahaman seseorang tentang konsep komunikasi. Salah satu cara untuk menerangkan pengaruhnya adalah mengatakan bahwa perspektif yang berbeda memberikan interpretasi yang berlainan juga.
Sebagian orang mungkin akan menafsirkan perspektif itu sebagai suatu metodelogi penelitian, jelas bukan. Begitu pula suatu metodelogi tertentu tidaklah unik atau bahkan paling tetap bagi suatu perspektif apapun. Dalam kenyataannya, setiap metodelogi penelitian apapun dapat cocok dalam salah satu dari keempat perspektif itu, hanya tergantung pada sifat pernyataan penelitian tertentu yang ditanyakan- bukan pada perspektif filosofisnya itu sendiri.[7]
Fenomena      Ahok
Ahok telah menjadi fenomena tersendiri. Di balik ketegasannya dalam memimpin DKI, bahasanya yang lantang, keras, dan blak-blakan yang tak jarang membuat telinga panas, menjadi cirri-ciri khas       tersendiri.
Secara umum memang bukan kali ini saja orang nomor 1 di DKI ini 'bertikai' dengan orang lain lantaran ucapannya yang pedas. Sejak dilantik medio Oktober 2013, komentar-komentarnya terus kontroversial dan membuat orang tersinggung.
 Fenomena di atas menunjukkan bahwa sekadar tegas tidak cukup bagi seorang pemimpin. Ketegasan sikap ini harus diiringi dengan penyampaian dan pola komunikasi yang baik. Ide-ide Ahok boleh saja cemerlang dalam membangun DKI. Hanya saja jika pola komunikasi yang dibangun seperti itu, dalam arti mengedepankan emosionalitas, maka ia akan mudah memutus substansi ide yang digulirkan. Dengan kata lain, masyarakat menjadi unmotivated dan cenderung tidak care terhadap idenya, karena komunikasi yang digunakan. Apalagi dalam banyak contoh, Ahok cenderung terjebak pada perdebatan personal. Ia memojokkan individu tertentu dalam upaya menjustifikasi ide yang dianggapnya benar. Akibatnya tercipta friksi-friksi yang tidak lagi berbicara gagasan, tetapi mengarah pada kebencian       personal.

Komunikasi   Pemimpin
Menjadi pemimpin, memang, tidak seindah dan semudah yang kita pikirkan. Di pundaknya terdapat jutaan beban sekaligus amanah orang-orang yang dipimpinnya. Tugas pemimpin, dalam situasi apapun adalah bagaimana menjalankan amanah itu dengan sebaik mungkin.
Tentu saja untuk menjalankan amanah ini membutuhkan piranti, dan di antara piranti yang utama adalah komunikasi. Komunikasi urgen karena menjadi semacam 'jembatan' bagi pemimpin terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Bila pemimpin gagal membangun komunikasi yang baik dan sesuai dengan lingkungan orang-orang yang dipimpinnya, bisa dipastikan ide-ide kepemimpinannya akan sulit diterima, bahkan ditolak.
Dalam ilmu komunikasi politik, kita mengenal Teori Empati dan Teori Homofili. Dalam teori ini, seorang pemimpin dituntut untuk mampu menyesuaikan suasana pikirannya dengan alam pikiran khalayak. Selain itu, komunikasi juga didasarkan pada kesamaan (homofili) yang dipandang lebih efektif ketimbang oleh ketidaksamaan derajat, ras, agama, ideologi, simbol politik, dan seterusnya. Dengan begitu, komunikasi perlu disandarkan pada situasi tertentu sesuai dengan alam atau lingkungan di sekitar kita.
Penyesuaian ini tentu dalam upaya menyampaikan hakikat dari komunikasi itu sendiri sebagai "transfer of information". Seorang pemimpin yang tidak bisa mengalirkan ide-idenya kepada publik dengan cara yang diinginkan mereka, sesungguhnya pemimpin tersebut telah gagal melakukan komunikasi politik. Pandangan ini bila kita merujuk pada konsep dari Everett M. Rogers yang menyebut komunikasi sebagai proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka; atau konsep dari Harold Lasswell yang menyebut komunikasi dengan "Who Says What In Which Channel to Whom With What Effect?" atau siapa mengatakan apa dengan saluran  apa       kepada             siapa    dengan                        pengaruh            bagaimana?
Maka, komunikasi telah menjadi tantangan pertama sekaligus utama bagi Ahok maupun pemimpin-pemimpin lainnya jika ingin mencapai sukses. Komunikasi yang baik adalah yang dapat mengalirkan ide, usulan, saran, bahkan perintah yang bisa direnungkan dan dijalankan oleh orang-orang yang dipimpinnya, sehingga bisa menghasilkan perubahan. Sikap tegas adalah keharusan bagi pemimpin, tetapi sikap itu saja tidak cukup, jika tidak disertai kearifan dan pola komunikasi yang bisa diterima oleh orang-orang yang dipimpinnya, tanpa ada yang tersakiti.[8]
Teori Empati dan Homofili
            Komunikasi persuasi yang positif berkaitan juga berkaitan dengan teori empati dan teori homofili. Yang dikembangkan pakar komunikasi psikologi dan soiologi. Teori empati dikembangkan oleh Berlo dan Daniel Laner. Sedangkan teori Homfoili dikembangkan oleh Everet M. Rogers dan F. Shoemaker.[9] Secara sederhana empati adalah menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang lain. K. berlo memperkenalkan teori dengan nama Influence Theory of Empaty yaitu teori penurunan dari  penempatan diri ke dal;am diri orang lain. Pengertian dari teori ini adalah komunikan akan mengandaikan dirinya jika menjadi posisi komunikator. Dalam hal ini diri komunikan tercipta daya khayal selanjutnya individu akan menemukan serta mengidentifikasi adanya persamaan-persamaan atau perbedaan masing-masing serta kemudian menjadi dasar untuk melakukan penyesuaian.
Beberapa pakar memberikan pengertian tentang empati[10]sebagai berikut: Daniel Learner (1978) mengatakan bahwa empati adalah kesanggupan seseorang untuk melihat diri sendiri dalam situasi orang lain, dan kemudian melakukan penyesuaian. Dimana dalam hal individu harus memiliki” kepribadian mobil” yaitu kepribadian yang mudah bergerak dan menyesuaikan diri dengan situasi orang lain. Kemudian freud(1921) mengatakan bahwa empati itu adalah memahami orang lain, yang tidak mempunyai emosional bagi kita. Scotland (1978) empati adalah keadaan ketika pengamat bereaksi secara emosional karena dia mengganggap orang lain mengalami atau siap mengalami suatu emosi. Sedangkan Barnet (1979) memberi contoh empati, yaitu membayangkan pengalaman orang lain ketika sakit, kami memperlakukan orang lain itu berbeda dengan cara kami memperlakukan diri kami sendiri.
Dalam komunikais politik, memproyeksikan diri sendiri kedlam titik pandang dan empati orang lain  memberi peluang kepada seseorang politikus untuk berhasil dalam pembicaraan politiknya.[11]Menempatkan diri sendiri seperti orang lain itu tidak mudah, justru empati dapat ditingkatkan melalui komunikasi sosial dan komunikasi politik yang sering dilakukan oleh politkus. Dapat dipahami bahwa seorang politikus perlu melakukan komunikais yang rutin kepada msyarakat supaya masyarakat semakin mengenal dan masyarakat dapat memproyeksikan dirinya terhadap politikus supaya muncul empati pada masyarakat sebagaid ari munculnya penyesuaian diri dan persamaan –persamaan. Empati dan komunikais politik adalah sifat yang sangat dekat dengan citra sesorang politik tentang diri dan tentang orang lain, sehingga empati dapat dinegosiasikan atau dimantapkan melalui komunikasi antar pesona.
Dalam usaha melakukan empati dalam peristiwa komunikasi  Rogers dan Shoemaker memperkenalkan homofili, dengan tujuan meningkatkan kemampuan individu untuk menciptakan kebersamaan –kebersamaan baik fisik maupun mental.[12]
Nimmo[13]  menyebutkan bebrapa prinsip homofili dalam komunikasi dan riset dan riset yaitu:
1.      Orang-orang yang mirip dan sesuai dengan orang lain, lebih sering berkomunikasi daripada orang yang tidak mempunyai persamaan sifat dan pandangan .
2.      Komunikasi yang lebih efektif terjadi bila sumber dan penerima adalah homofilistik, karena orang-orang yang mirip cenderung menemukan makna yang sama dan diakui bersama dalam pesan-pesan yang dipertukarkan oleh mereka.  
3.      Komunikasi saling memelihara karena semakin banyak komunikasi diantara mereka, makin cenderung dapat berbagai pandang dan melanjutkan komunikasi.
Empati dan homofili dapat menciptakan  semua yang akrab dan intim sehingga komunikasi dapat berjalan secara interaksional. Seseorang komunikator politikus dapat mempersuasi masyarakat dngan melakukan  pendekatan masyarakat melalui komunikasi dengan menimbulkan empati dari masyarakat atau publik. Untuk mendapatkan itu tentunya dilakukan dengan komunikasi yang efektif dan terus –menerus kepada masyarakat untuk menciptakan empati.























DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal. Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigm Baru.Bandung: Rosdakarya 2011
Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Kuantitatif Komunikasi, Ekonomi,dan Kebijakan Publik serta Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya, Prenada Media, Jakarta..2005
Fisher, Aubrey, Teori-teori dan Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung.1990
http://andri-hermansyah.blogspot.co.id/2014/04/perspektif-ilmu-komunikasi.html
http://denontarr.blogspot.co.id/2008/11/perspektif-komuniaksi-b-aubrey-fisher.html
http://indiwan.blogspot.co.id/2010/05/apa-itu-perpektif-komunikasi.html
http://www.sayangi.com/fitur/tajuk/read/6986/fenomena-ahok-komunikasi-pemimpin



[1] http://denontarr.blogspot.co.id/2008/11/perspektif-komuniaksi-b-aubrey-fisher.html
[2] http://indiwan.blogspot.co.id/2010/05/apa-itu-perpektif-komunikasi.html
[3] Fisher, Aubrey, Teori-teori dan Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung.1990. h.89

[4]. Fisher, Aubrey, Teori-teori dan Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung 1990..h.439
[5] Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Kuantitatif Komunikasi, Ekonomi,dan Kebijakan Publik serta Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya, Prenada Media, Jakarta..2005 h. 31-32
[6] http://andri-hermansyah.blogspot.co.id/2014/04/perspektif-ilmu-komunikasi.html
[7] http://denontarr.blogspot.co.id/2008/11/perspektif-komuniaksi-b-aubrey-fisher.html
[8] http://www.sayangi.com/fitur/tajuk/read/6986/fenomena-ahok-komunikasi-pemimpin
[9] Arifin, Zainal. Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigm Baru.Bandung: Rosdakarya 2011 h.109
[10] Arifin, Zainal. Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigm Baru.Bandung: Rosdakarya 2011. h.110
[11] Ibid
[12] Ibid .h.11
[13] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI A.     Pendahuluan Buku ini dimakasudkan untuk menyediakan sebagian bahan pembelajaran bagi mah...